Tujuan Hidup

Kecil dimanja-maja, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga. Bahagia selama-lamanya.

Bukankah hidup seperti itu yang banyak orang impikan? bahagia terus dari waktu ke waktu. Dari masa ke masa. Dari kecil sampai tua. Dari lahir sampai meninggal dunia.

Selama bertahun-tahun kita selalu dididik bahwa tujuan hidup adalah bahagia. Dan semua orang menerjemahkan kebahagiaan sesuai dengan preferensinya masing-masing sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya.

Ada yang memaknai kebahagiaan dengan banyaknya harta. Ada yang memaknai kebahagiaan dengan banyaknya tempat yang bisa dikunjungi selama hidupnya. Ada yang memaknai kebahagiaan dengan bisa menghabiskan waktu yang lama bersama orang-orang tercinta. Semua orang berlomba-lomba untuk mengejar kebahagiaan yang digambarkan oleh pikirannya.

Demi kebahagiaan tersebut, banyak orang yang kemudian rela menggadaikan waktunya di sepanjang siang dan malam untuk melakukan yang sebenarnya tidak disukainya. Banyak orang yang membeli sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkannya. Banyak orang bepergian jauh ke luar kota, bahkan ke luar negeri, dengan harapan untuk menemukan kebahagiaan di sana.

Tapi apakah benar itu sebenarnya tujuan hidup?

Saya sendiri sempat berfikir seperti itu. Menganggap tujuan hidup adalah untuk bahagia. Karena orang tua kita pun bahagia ketika melihat kita hidup. Setidak-tidak membanggakannya kita sebagai seorang anak, melihat kita masih hidup layak itu membuat orang tua kita bahagia.

Dan di situlah sebenar-benarnya tujuan hidup. Untuk bermanfaat. Untuk berbuat baik kepada sesama. Minimal buat orang-orang terdekat kita. Buat orang tua, buat pasangan, buat anak, buat keluarga. Lebih-lebih buat lingkungan dan semesta.

Dari situ, saya semakin yakin kalau sebenarnya alasan orang-orang menikah itu bukan ingin bahagia. Tapi ingin terus bermanfaat sepanjang hidupnya. Minimal buat pasangan dan anaknya. Karena semakin ke sini, setelah mempunyai anak saya menyadari betul bahwa “parenting effect” itu benar adanya. Jauh di lubuk hati, saya ingin berjuang dengan lebih keras agar anak saya bisa hidup dengan lebih layak dan siap untuk menghadapi tantangan kehidupan yang lebih berat ke depannya.

Baca Juga  3 Kesalahan Utama Calon Mahasiswa

Kalau kita cuma mengejar bahagia dalam hidup, pada akhirnya kita akan terus terjebak dalam lingkaran setan yang tidak ada habisnya. Karena standar kebahagiaan kita akan terus meningkat seiring dengan berjalannya waktu dan meningkatnya kualitas hidup kita.

Kita yang belum punya sepeda, merasa orang yang punya sepeda lebih bahagia. Ketika kita sudah punya sepeda, kita memang sempat bahagia, tapi kemudian merasa yang punya sepeda motor itu lebih menyenangkan. Begitu seterusnya.

Tapi sebaliknya, jika kita fokus pada kebermanfaatan, maka kebahagiaan akan mengikuti dengan sendirinya. Makanya saya selalu yakin, kalau orang-orang paling bahagia dalam hidup ini adalah orang-orang yang mengabdikan hidupnya untuk kehidupan orang lain.

Belajar dari Bill Gates

Meskipun secara nominal harta Jeff Bezos lebih kaya, saya selalu lebih yakin kalau dalam lubuk hati paling dalam, Bill Gates dan Melinda Gates lebih puas dan bahagia atas hidupnya. Karena Bill Gates dan Melinda Gates tidak hanya kaya raya, tapi juga berperan besar dalam meningkatkan kualitas hidup banyak orang melalui lembaga filantropinya.

Dan mungkin karena itu pula, Bill Gates memutuskan untuk keluar dari Microsoft dan lebih memilih berfokus mengurus Bill & Melinda Gates Foundation bersama dengan istrinya. Karena merasa lebih bahagia setelah menyadari bahwa kekayaan yang dimilikinya bisa meningkatkan kualitas hidup banyak orang miskin di dunia.

Kalau cuma ingin bahagia, Bill Gates tentu bisa saja menghabiskan semua sisa waktu hidupnya untuk menonton serial favoritnya di Netflix seperti kita. Bisa saja dia menghabiskan sisa hidupnya untuk menginap di semua hotel-hotel paling mewah di seluruh penjuru negara. Bisa saja dia keluar masuk toko barang-barang mewah untuk menambah koleksi barang mewahnya. Tapi itu semua tidak dilakukannya.

Sebagai gantinya, Bill Gates menghabiskan sisa hidupnya untuk memenuhi tujuan hidupnya yang paling mendasar sebagai manusia. Sebagai manifestasi Tuhan (khalifatullah) di dunia.

Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling banyak memenuhi tujuan hidupnya: untuk bermanfaat bagi sesama.

Try Out SNBP

3 thoughts on “Tujuan Hidup Bukanlah Bahagia”
  1. Kalau ada yang “menggadaikan waktunya di sepanjang siang dan malam untuk melakukan yang sebenarnya tidak disukainya” demi bermanfaat untuk orang lain (misal demi menghidupi anak istri) menurut kamu gimana ad? 🙂

    1. Itu masih termasuk alasan bermanfaat sih. Sama seperti menikah.

      Makanya saya tegaskan kalau alasan utama orang-orang menikah itu sebenarnya bukan mencari kebahagiaan. Tapi lebih kepada mencari alasan agar bisa terus bisa jadi pribadi bermanfaat selama hidupnya. Dan tidak banyak orang sadari, kebermanfaatan itulah yang sebenarnya melahirkan kebahagiaan selama berkeluarga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *